1. Filsafat adalah
studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis
dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan
eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah
secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang
tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam
sebuah proses dialektika.
2. Ilmu pengetahuan
adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan
pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.
3. Pengetahuan adalah informasi atau maklumat
yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Pengetahuan termasuk, tetapi tidak
dibatasi pada deskripsi, hipotesis, konsep, teori, prinsip dan prosedur
yang secara Probabilitas Bayesian adalah benar atau berguna.
Dalam
pengertian lain, pengetahuan adalah pelbagai gejala yang ditemui dan diperoleh
manusia melalui pengamatan akal.
PERSAMAAN
KETIGANYA :
- Ketiganya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki objek selengkap-lengkapnya sampai ke akar-akarnya.
- Ketiganya memberikan pengertian mengenai hubungan yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukan sebab-sebabnya .
- Ketiganya memberikan sintesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
- Ketiganya mempunyai metode dari sistem .
PERBEDAAN
KETIGANYA :
Filsafat mencoba merumuskan pertanyaan atas jawaban, mencari
prinsip-prinsip umum tidak membatasi segi pandangannya bahkan cenderung memandang
sesuatu secara umum dan keseluruhan yang ada.
Ilmu
pengetahuan cenderung kepada hal yang dipelajari
dari sebuah buku panduan, ilmu pengetahuan adalah kajian tentang dunia
material.
Pengetahuan yang dipelajari terbatas karena hanya sekedar kemampuan
yang ada dalam diri kita untuk mengetahui sesuatu hal, objek penelitian yang
terbatas. Tidak menilai obyek dari suatu sistem nilai tertentu. Bertugas
memberikan jawaban.

Mitos
pada umumnya menceritakan tentang terjadinya alam semesta, dunia, bentuk khas
binatang, bentuk topografi, petualangan para dewa, kisah percintaan dan
sebagainya. Mitos itu sendiri, ada yang berasal dari Indonesia dan ada juga
yang berasal dari luar negeri.
Contoh Mitos:
Calon pengantin perempuan dilarang keras
keramas ketika dekat hari H. Kenapa? Katanya supaya tidak turun hujan deras
ketika resepsi berlangsung yang bisa mengacaukan acara. Masuk akal tidak ya?
keramas dan hujan? Logikanya kenapa calon pengantin perempuan dilarang
membasahi rambutnya (keramas) karena kata penata rias pengantin, kalau rambut
yang akan disanggul itu di keramasi maka tekstur rambut jadi halus dan lembek
ini menyulitkan si penata rambut memasang sanggul. Jadi ketika hari H si calon
pengantin tidak boleh keramas supaya lebih mudah disasak dan dipasang sanggul.
Seorang Ayah yang pulang
kerja, ketika punya baby harus ke kamar mandi dulu untuk cuci tangan dan kaki,
katanya supaya setan dari luar yang ikut di badan si Ayah tidak menakuti
bayinya. Logika untuk mitos ini mudah saja tentu saja orang yang pulang kerja
lewat jalan yang penuh dengan debu dan kotoran, belum lagi kalau macet dan asap
kendaraan menempel di baju. Bayi yang baru lahir belum memiliki anti body yang
kuat jadi rentan terkena berbagai macam penyakit. Debu dan kotoran yang
menempel di baju si Ayah ialah sarang kuman dan virus, jadi harus dihilangkan
dulu dengan cara cuci tangan dan kaki, lebih baik lagi kalau mandi dulu, baru
timang-timang anak tersayang.

sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi. Oleh karena itu, legenda sering kali dianggap sebagai "sejarah" kolektif (folk history). Walaupun demikian, karena tidak tertulis, maka kisah tersebut telah mengalami distorsi sehingga sering kali jauh berbeda dengan kisah aslinya. Oleh karena itu, jika legenda hendak dipergunakan sebagai bahan untuk merekonstruksi sejarah, maka legenda harus dibersihkan terlebih dahulu bagian-bagiannya dari yang mengandung sifat-sifat folklore. Menurut Buku Sari Bahasa Indonesia, Legenda adalah cerita rakyat jaman dahulu berkaitan dengan peristiwa dan asal-usul terjadinya suatu tempat.
Contoh Legenda: - Legenda Batu Menangis (Kalimantan)
Dikisahkan zaman dulu ada sepasang
suami-istri. Si suami bernama Awang dan si istri bernama Sari. Setelah beberapa
lama menikah, akhirnya Sari mengandung. Ketika tiba waktunya melahirkan, Sari
dan Awang begitu gembira. Karena, anaknya sungguh cantik.
Hal yang unik adalah proses kelahirannya. Saat bayi cantik yang dinamai Putri ini lahir, cuaca sungguh tidak bersahabat. Angin bertiup kencang, gelap, dan pertanda buruk alam lainnya. Proses kelahiran inilah kelak mempengaruhi sifat Putri yang tidak sesuai dengan harapan orangtuanya.
Ya, setelah tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik, perilakunya sedemikian buruk. Putri memiliki jiwa pemalas. Kerjanya setiap hari hanyalah bersolek tanpa pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Sifatnya pun manja dan kekanak-kanakan. Dimana, setiap permintaannya harus dituruti tanpa peduli keadaan kedua orang tuanya.
Suatu ketika, Putri diajak Sari ibunya berbelanja di pasar yang terletak lumayan jauh dari rumahnya. Untuk mencapainya mereka harus berjalan melewati beberapa desa. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya Putri bersolek sambil berjalan melenggak-lenggok bak bidadari. Terlebih-lebih ketika perjalanan pulang, Putri yang tidak mau membawa belanjaan membiarkan Ibu kerepotan membawa sendirian.
Hal ini Putri lakukan supaya dirinya terlihat orang-orang lebih dulu saat melewati desa. Dan betul saja, begitu melewati sebuah desa, banyak para pemuda memperhatikan dirinya. Mereka mengagumi kecantikan Putri yang tiada tara. Seorang pemuda sebut saja bernama Jafar memberanikan diri untuk bertanya kepada Putri.
“Hai, gadis cantik,” kata Jafar menyapa putri dengan ramah, “Boleh aku berkenalan denganmu?”
“Tentu saja,” sahut Putri. Dan berbincang-bincanglah mereka dengan akrab sampai akhirnya Jafar bertanya mengenai seorang perempuan renta yang bersamanya.
“Oh, bukan siapa-siapa? Ia cuma pembantuku.”
Kejadian serupa terjadi berulang-ulang setiap kali, Putri dan Ibu melewati desa. Para pemuda bertanya siapa perempuan yang bersama Putri. Dan Putri selalu menjawab dengan jawabanya yang tidak jauh berbeda, seperti “Ia budakku.” “Ia alas kakiku.”
Mendengar jawaban-jawaban seperti itu, Ibu sakit hati. Ia menggumam, “Ya, Tuhan, tega sekali anakku Putri berkata seperti itu kepada orang-orang. Apakah ia tak memikirkan perasaanku sama sekali. Sakit, Tuhan, sakit sekali hatiku mendengarnya. Aku tak tahan lagi. Berilah pelajaran kepadanya…”
Seketika, tubuh Putri membeku. Ia pun berteriak, “Ibu… Ibu… apa yang terjadi pada diriku?”
Ibu yang tidak menduga bahwa omongannya didengar oleh Tuhan, segera menghampiri Putri. Ibu juga menangis melihat keadaan Putri yang perlahan-lahan berubah menjadi batu.
“Ibu… Ibu… apa yang telah terjadi?” tanya Putri lagi.
Ibu menggeleng dan menjauh. “Tidak, Tuhan, tidak! Aku tidak menginginkan Putri menjadi batu. Aku menginginkan Engkau memberinya pelajaran, bukan dijadikan batu.”
Namun, apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur. Hukuman itu tidak dapat dihindari lagi. Perlahan-lahan tubuh putri pun berubah menjadi batu. Perubahan itu terjadi dari kaki,badan, hingga kepala. Gadis durhaka itu hanya bias menangis menyesali perbuatannya. Sebelum kepala anaknya berubah menjadi batu, sang ibu masih melihat air menetes dari kedua mata anaknya. Tidak berapa lama, cuaca pun kembali terang seperti sedia kala.. Seluruh tubuh Putri berubah menjadi batu. Batu itu kemudian mereka letakkan di pinggir jalan bersandar ke tebing. Oleh masyarakat batu itu dinamakan Batu Menangis. Batu itu masih tetap dipelihara dan dapat dilihat hingga sekarang.
Hal yang unik adalah proses kelahirannya. Saat bayi cantik yang dinamai Putri ini lahir, cuaca sungguh tidak bersahabat. Angin bertiup kencang, gelap, dan pertanda buruk alam lainnya. Proses kelahiran inilah kelak mempengaruhi sifat Putri yang tidak sesuai dengan harapan orangtuanya.
Ya, setelah tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik, perilakunya sedemikian buruk. Putri memiliki jiwa pemalas. Kerjanya setiap hari hanyalah bersolek tanpa pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Sifatnya pun manja dan kekanak-kanakan. Dimana, setiap permintaannya harus dituruti tanpa peduli keadaan kedua orang tuanya.
Suatu ketika, Putri diajak Sari ibunya berbelanja di pasar yang terletak lumayan jauh dari rumahnya. Untuk mencapainya mereka harus berjalan melewati beberapa desa. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya Putri bersolek sambil berjalan melenggak-lenggok bak bidadari. Terlebih-lebih ketika perjalanan pulang, Putri yang tidak mau membawa belanjaan membiarkan Ibu kerepotan membawa sendirian.
Hal ini Putri lakukan supaya dirinya terlihat orang-orang lebih dulu saat melewati desa. Dan betul saja, begitu melewati sebuah desa, banyak para pemuda memperhatikan dirinya. Mereka mengagumi kecantikan Putri yang tiada tara. Seorang pemuda sebut saja bernama Jafar memberanikan diri untuk bertanya kepada Putri.
“Hai, gadis cantik,” kata Jafar menyapa putri dengan ramah, “Boleh aku berkenalan denganmu?”
“Tentu saja,” sahut Putri. Dan berbincang-bincanglah mereka dengan akrab sampai akhirnya Jafar bertanya mengenai seorang perempuan renta yang bersamanya.
“Oh, bukan siapa-siapa? Ia cuma pembantuku.”
Kejadian serupa terjadi berulang-ulang setiap kali, Putri dan Ibu melewati desa. Para pemuda bertanya siapa perempuan yang bersama Putri. Dan Putri selalu menjawab dengan jawabanya yang tidak jauh berbeda, seperti “Ia budakku.” “Ia alas kakiku.”
Mendengar jawaban-jawaban seperti itu, Ibu sakit hati. Ia menggumam, “Ya, Tuhan, tega sekali anakku Putri berkata seperti itu kepada orang-orang. Apakah ia tak memikirkan perasaanku sama sekali. Sakit, Tuhan, sakit sekali hatiku mendengarnya. Aku tak tahan lagi. Berilah pelajaran kepadanya…”
Seketika, tubuh Putri membeku. Ia pun berteriak, “Ibu… Ibu… apa yang terjadi pada diriku?”
Ibu yang tidak menduga bahwa omongannya didengar oleh Tuhan, segera menghampiri Putri. Ibu juga menangis melihat keadaan Putri yang perlahan-lahan berubah menjadi batu.
“Ibu… Ibu… apa yang telah terjadi?” tanya Putri lagi.
Ibu menggeleng dan menjauh. “Tidak, Tuhan, tidak! Aku tidak menginginkan Putri menjadi batu. Aku menginginkan Engkau memberinya pelajaran, bukan dijadikan batu.”
Namun, apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur. Hukuman itu tidak dapat dihindari lagi. Perlahan-lahan tubuh putri pun berubah menjadi batu. Perubahan itu terjadi dari kaki,badan, hingga kepala. Gadis durhaka itu hanya bias menangis menyesali perbuatannya. Sebelum kepala anaknya berubah menjadi batu, sang ibu masih melihat air menetes dari kedua mata anaknya. Tidak berapa lama, cuaca pun kembali terang seperti sedia kala.. Seluruh tubuh Putri berubah menjadi batu. Batu itu kemudian mereka letakkan di pinggir jalan bersandar ke tebing. Oleh masyarakat batu itu dinamakan Batu Menangis. Batu itu masih tetap dipelihara dan dapat dilihat hingga sekarang.

Contoh Cerita Rakyat:
-
Kisah Rara Mendut (Jawa Tengah)
Dahulu,
di pesisir pantai utara Pulau Jawa, tepatnya di daerah Pati, Jawa Tengah,
tersebutlah sebuah desa nelayan bernama Teluk Cikal. Desa itu termasuk ke dalam
wilayah Kadipaten Pati yang diperintah
oleh Adipati Pragolo II. Kadipaten Pati sendiri merupakan salah satu wilayah
taklukan dari Kesultanan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung.
Di Teluk Cikal, hidup seorang gadis anak nelayan bernama
Rara Mendut. Ia seorang gadis yang cantik dan rupawan. Rara Mendut juga dikenal
sebagai seorang gadis yang teguh pendirian. Ia tidak sungkan-sungkan menolak
para lelaki yang datang melamarnya sebab ia sudah memiliki calon suami, yakni
seorang pemuda desa yang tampan bernama Pranacitra, putra Nyai Singabarong,
seorang saudagar kaya-raya.
Suatu hari, berita tentang kecantikan dan kemolekan Rara Mendut
terdengar oleh Adipati Pragolo II. Penguasa Kadipaten Pati itu pun bermaksud
menjadikannya sebagai selir. Sudah berkali-kali ia membujuknya, namun Rara
Mendut tetap menolak. Merasa dikecewakan, Adipati Pragolo II mengutus beberapa
pengawalnya untuk menculik Rara Mendut.
Hari itu, ketika Rara Mendut sedang asyik menjemur ikan di
pantai seorang diri, datanglah utusan Adipati Progolo.
“Ayo gadis cantik, ikut kami ke keraton!” seru para pengawal
itu sambil menarik kedua tangan Rara Mendut dengan kasar.
“Lepaskan, aku!” teriak Rara Mendut sambil meronta-ronta,
“Aku tidak mau menjadi selir Adipati Pragolo. Aku sudah punya kekasih!”
Para pengawal itu tidak peduli dengan rengekan Rara Mendut.
Mereka terus menyeret gadis itu naik ke kuda lalu membawanya ke keraton.
Sebagai calon selir, Rara Mendut dipingit di dalam Puri Kadipaten Pati di bawah
asuhan seorang dayang bernama Ni Semangka dengan dibantu oleh seorang dayang
yang lebih muda bernama Genduk Duku.
Sementara Rara Mendut dalam masa pingitan, di Kadipaten Pati
sedang terjadi gejolak. Sultan Agung menuding Adipati Pragolo II sebagai
pemberontak karena tidak mau membayar upeti kepada Kesultanan Mataram. Sultan
Agung pun memimpin langsung penyerangan ke Kadipaten Pati.
Menurut cerita, Sultan Agung tidak mampu melukai Adipati
Pragolo II karena penguasa Pati itu memakai kere waja (baju
zirah) yang tidak mempan senjata apapun. Melihat hal itu, abdi pemegang payung
sang Sultan yang bernama Ki Nayadarma pun berkata,
“Ampun, Gusti Prabu. Perkenankanlah hamba yang menghadapi
Adipati Pragolo!” pinta Ki Nayadarma seraya memberi sembah.
“Baiklah, Abdiku. Gunakanlah tombak Baru Klinting ini!” ujar
sang Sultan.
Berbekal tombak pusaka Baru Klinting, Ki Nayadarma langsung
menyerang Adipati Pragolo II. Namun, serangannya masih mampu ditepis oleh
Adipati Pragolo II. Saat Adipati itu lengah, Ki Nayadarma dengan cepat
menikamkan pusaka Baru Klinting ke bagian tubuh sang Adipati yang tidak
terlindungi oleh baju zirah. Adipati Pragolo II pun tewas seketika.
Sementara itu, para prajurit yang dikomandani panglima
perang Mataram, Tumenggung Wiraguna, segera merampas harta kekayaan Kadipaten
Pati, termasuk Rara Mendut. Tumenggung Wiraguna langsung terpesona saat melihat
kecantikan Rara Mendut. Ia pun memboyong Rara Mendut ke Mataram untuk dijadikan
selirnya.
Tumenggung Wiraguna berkali-kali membujuk Rara Mendut untuk
dijadikan selir, namun selalu ditolak. Bahkan, di hadapan panglima itu, ia
berani terang-terangan menyatakan bahwa dirinya telah memiliki kekasih bernama
Pranacitra. Sikap Rara Mendut yang keras kepala itu membuat Tumenggung Wiraguna
murka.
“Baiklah, Rara Mendut. Jika kamu tidak ingin menjadi
selirku, maka sebagai gantinya kamu harus membayar pajak kepada Mataram!” ancam
Tumenggung Wiraguna.
Rara Mendut tidak gentar mendengar ancaman itu. Ia lebih
memilih membayar pajak daripada harus menjadi selir Tumenggung Wiraguna. Oleh
karena masih dalam pengawasan prajurit Mataram, Rara Mendut kemudian meminta
izin untuk berdagang rokok di pasar. Tumenggung Wiraguna pun menyetujuinya. Ternyata,
dagangan rokoknya laku keras, bahkan, orang juga beramai-ramai membeli puntung rokok bekas
isapan Rara Mendut.
Suatu hari, ketika sedang berjualan di pasar, Rara Mendut
bertemu dengan Pranacitra yang sengaja datang mencari kekasihnya itu.
Pranacitra berusaha mencari jalan untuk bisa melarikan Rara Mendut dari
Mataram.
Setiba di istana, Rara Mendut menceritakan perihal
pertemuannya dengan Pranacitra kepada Putri Arumardi, salah seorang selir
Wiraguna, dengan harapan dapat membantunya keluar dari istana. Rara Mendut tahu
persis bahwa Putri Arumardi tidak setuju jika Wiraguna menambah selir lagi.
Putri Arumardi dan selir Wiraguna lainnya yang bernama Nyai
Ajeng menyusun siasat untuk mengeluarkan Rara Mendut ke luar dari istana.
Bersama dengan Pranacitra, Rara Mendut berusaha untuk kembali ke kampung
halamannya di Kadipaten Pati.
Namun sungguh disayangkan, pelarian Rara Mendut dan
Pranacitra diketahui oleh Wiraguna. Pasangan ini akhirnya berhasil ditemukan
oleh para prajurit Wiraguna. Rara Mendut pun dibawa kembali ke Mataram,
sedangkan secara diam-diam, Wiraguna memerintahkan abdi kepercayaannya untuk
menghabisi nyawa Pranacitra. Alhasil, kekasih Rara Mendut itu tewas dan
dikuburkan di sebuah hutan terpencil di Ceporan, Desa Gandhu, terletak kurang
lebih 9 kilometer sebelah timur Kota Yogyakarta.
Sepeninggal Pranacitra, Tumenggung Wiraguna kembali membujuk
Rara Mendut agar mau menjadi selirnya. Namun, usahanya tetap sia-sia, gadis
cantik itu tetap menolak. Sang Panglima pun tidak kehabisan akal. Ia kemudian menceritakan
perihal kematian Pranacitra kepada Rara Mendut.
“Sudahlah, Rara Mendut. Percuma saja kamu menikah dengan
Pranacitra,” ujar Tumenggung Wiraguna.
“Apa maksud, Tuan?” tanya Rara Mendut mulai cemas.
“Pemuda yang kamu kasihi itu sudah tidak ada lagi,” jawab
Tumenggung Wiraguna.
“Kanda Pranacitra sudah tidak ada? Ah, itu tidak mungkin
terjadi. Aku baru saja bertemu dengannya kemarin,” kata Rara Mendut tidak
percaya.
“Jika kamu tidak percaya, ikutlah bersamaku, akan
kutunjukkan kuburnya,” ujar Tumenggung Wiraguna.
Rara Mendut pun menurut untuk membuktikan perkataan
Tumenggung Wiraguna. Betapa terkejutnya Rara Mendut begitu sampai di tempat
Pranacitra dikuburkan. Ia berteriak histeris di hadapan makam kekasihnya.
“Kanda, jangan tinggalkan Dinda!” tangis Rara Mendut.
“Sudahlah, Mendut! Tak ada lagi gunanya meratapi orang yang
sudah mati,” ujar Wiraguna, “Ayo, kita tinggalkan tempat ini!”
Rara Mendut pun bangkit lalu mengikuti Tumenggung Wiraguna
sambil terus menangis. Belum jauh mereka meninggalkan tempat pemakaman itu,
Rara Mendut pun murka dan mengancam akan melaporkan perbuatan Wiraguna kepada
Raja Mataram, Sultan Agung.
“Tuan jahat sekali. Perbuatan Tuan akan kulaporkan kepada
Raja Mataram agar mendapat hukuman yang setimpal!” ancam Rara Mendut.
Seketika, Tumenggung Wiraguna menjadi sangat marah. Ia
kemudian menarik tangan Rara Mendut untuk dibawa pulang ke rumahnya. Namun,
gadis itu menolak dan meronta-ronta untuk melepaskan diri. Begitu tangannya
terlepas, ia menarik keris milik Tumenggung Wiraguna yang terselip di
pinggangnya. Rara Mendut kemudian berlari menuju makam kekasihnya. Panglima itu
pun berusaha mengejarnya.
“Berhenti, Mendut!” teriaknya.
Setiba di makam Pranacitra, Rara Mendut bermaksud untuk
bunuh diri.
“Jangan, Mendut! Jangan lakukan itu!” teriak Tumenggung
Wiraguna yang baru saja sampai.
Namun, semuanya sudah terlambat. Rara Mendut telah menikam
perutnya dengan keris yang dibawanya. Tubuhnya pun langsung roboh dan tewas di
samping makam kekasihnya. Melihat peristiwa itu, Tumenggung Wiraguna merasa
amat menyesal atas perbuatannya.
“Oh, Tuhan. Sekiranya aku tidak memaksanya menjadi selirku,
tentu Rara Mendut tidak akan nekad bunuh diri,” sesal Tumenggung Wiraguna. Penyesalan
itu tak ada gunanya karena semuanya sudah terjadi. Untuk menebus kesalahannya,
Tumenggung Wiraguna menguburkan Rara Mendut satu liang dengan Pranacitra.
Begitulah kisah perjuangan Rara Mendut dalam mempertahankan harga diri dan
kesetiaannya.
Daftar Pustaka:
Aly, A dan
Rahma, E., 2006, Ilmu Alamiah Dasar, Jakarta, Bumi Aksara
Fahmi, N.,
2010 Ilmu Alamih Dasar, Universitas islam Kalimantan, Banjarmasin.